Saya teringat sebuah obrolan singkat dengan seorang teman tentang penyematan Pewaris dan Perintis pada seseorang. Obrolan itu menjadi agak sedikit “panas” setelah dia beropini bahwa saya adalah perintis, namun saya tidak sepenuhnya setuju. Kenapa? Bukannya itu terdengar seperti pujian karena terkesan seperti saya orang yang hebat? Begini, semakin kesini saya semakin mengenal banyak orang, terlebih lagi saya tahu orang tersebut mempunyai banyak keunggulan yang saya tidak miliki, saya semakin merasa tahu diri bahwa saya bodoh, lalu apa yang hebat dari seseorang yang bodoh?

Saya sama sekali tidak mau mengklasifikasikan diri sebagai salah satu diantara 2 sematan tersebut karena jika saya menganggap bahwa saya adalah perintis maka saya telah BERBOHONG dan MENGKHIANATI perjuangan orang tua saya yang bersusah payah agar bisa menyekolahkan saya hingga perguruan tinggi, memfasilitasi saya dengan kendaraan pribadi, kamar ber-AC yang mana kamar saya adalah satu-satunya ruangan yang memiliki AC di rumah karena mereka ingin saya nyaman belajar, uang saku yang cukup, dan masih ada fasilitas lain yang tidak bisa saya sebutkan semua disini. Pada intinya saya mendapatkan cukup dukungan secara moril maupun materil bahkan sampai saya mendapatkan pekerjaan pertama saya, saya dibelikan sepatu baru, tas baru, kemeja baru layaknya anak sekolah yang masuk tahun ajaran baru dan uang saku selama 1 bulan penuh sampai keluar gaji pertama saya. Bahkan walau sudah beberapa tahun sampai sekarang, saya masih menggunakan barang-barang pemberian itu untuk keperluan saya bekerja. Lalu, jika saya mengatakan bahwa saya ini adalah seorang pewaris yang bermakna saya mengandalkan banyak hal atas apapun yang dimiliki oleh orang tua maka itu SALAH karena mereka bukan orang ternama, kaya raya, atau memiliki koneksi dimana-mana. “Cukup dan biasa”, itu adalah 2 kata yang menggambarkan bagaimana kondisi keluarga kami secara finansial dan juga status sosial.

Jadi saya sanggah perkataan teman saya tadi dengan penjelasan seperti itu. Saya bukanlah salah satu diantara keduanya. Mulai dari situ, saya merasa topik pewaris dan perintis ini menarik untuk saya tulis perspektif personal saya disini. Mungkin bagi sebagian orang pengklasifikasian “Pewaris” dan “Perintis” sebagai gelar tak terlihat dari seseorang atas pencapaian yang diraih tampaknya sudah menjadi suatu hal yang umum. Semakin menarik lagi ketika saya mengamati forum diskusi online seperti Quora dan kolom komentar sosial media, terlihat sebagian besar orang pada akhirnya akan secara mandiri menyebut diri mereka adalah perintis terlepas latar belakang cerita hidup mereka yang saya tidak ketahui seperti apa.

Saya tidak heran karena dengan sematan perintis tentunya akan menimbulkan kebanggaan dan apresiasi terhadap diri sendiri karena perjuangan atas pencapaian yang telah diraih yang tentunya harus melewati banyak rintangan. Sebaliknya, seseorang akan cenderung enggan menyematkan atau disematkan sebagai pewaris karena yang ada di pikiran orang-orang mungkin adalah rasa bangga dan marwahnya tidak sekuat perintis. Dengan alasan pewaris mempunyai garis awal perjuangan yang lebih depan dibandingkan orang lain, kemudahan fasilitas, dan dukungan moril maupun materil yang lebih memadai. Istilah lainnya mungkin adalah “kurang greget dan gengsi”.

Tidak heran beberapa waktu ke belakang sempat muncul perdebatan di sosial media perihal orang yang punya privilege dan yang tidak punya privilege terhadap pencapaian hidupnya. Menurut saya karena memang itu termasuk topik yang cukup sensitif dibahas karena menyangkut suatu hal yang secara naluriah dipunyai oleh manusia sebagai makhluk sosial yaitu validasi. Validasi tidak selalu bermakna haus pengakuan, namun sesederhana mendapatkan timbal balik dari saran atau opini yang kita berikan pada orang lain itu pun juga disebut validasi. Jadi validasi dibutuhkan untuk perkembangan psikologis yang baik bagi manusia sehingga manusia tersebut merasa diterima, diakui keberadaannya, dan dimengerti perasaannya.

Baik itu pewaris atau perintis, itu merupakan sesuatu yang di luar kendali manusia. Kita tidak bisa memilih dimana kita akan dilahirkan dan dari keluarga seperti apa kita dilahirkan. Di awal mula saja sudah jelas ini bukan lah pilihan namun seperti undian yang kita tidak pernah tahu akan seperti apa hasil akhirnya. Yang bisa dalam kendali manusia hanya lah ikhtiarnya. Dalam Islam pun, nasab dan status sosial bukan menjadi penentu seseorang akan masuk surga atau neraka melainkan taqwa, amal dan ibadah yang menjadi tolok ukur bagi Allah subhanahu wa ta’ala.

Seperti yang sudah saya ceritakan di awal, sejujurnya saya pribadi tidak suka dengan adanya pengistilahan seperti itu dengan alasan yang sudah jelaskan sebelumnya dan juga hal itu selalu dijadikan sorotan banyak orang untuk menciptakan persaingan yang tidak perlu antar individu. Konteks persaingan disini adalah seakan sebagai sebuah pembuktian siapa yang lebih terhormat atas perjuangan dan pencapaian yang diraihnya. Perjuangan setiap individu itu unik dan punya rintangannya masing-masing. Misalnya orang yang dibilang sebagai “Perintis” mungkin dia berhadapan dengan keterbatasan sumber daya atau dukungan, sementara orang yang disebut sebagai “Pewaris” mungkin dia mengalami adanya tekanan untuk memenuhi ekspektasi dan memanfaatkan privilege mereka dengan bijak. Jadi dua situasi itu punya kompleksitasnya sendiri, tidak mudah dilakukan dan tidak adil untuk dibandingkan. Maka tak perlu menciptakan kompetisi yang tidak perlu, kehormatan tidak bisa diraih dengan saling membandingkan. Membandingkan dua kondisi di luar kendali manusia tidak bisa mengubah baik buruk dari salah satunya.